Kisah Nyata 'Curahan Hati Seorang Muslim Gay Iskan Darilyas'

Ilustrasi Parade Gay Muslim Sumber : sdgln.com
Ilustrasi
Parade Gay Muslim
Sumber : sdgln.com


Sebagaimana umumnya LGBT di Indonesia, tadinya saya takut untuk unjuk berbicara. Tapi fitnah dan tuduhan para petinggi agama dan tokoh-tokoh populer terhadap LGBT sudah demikian parah. Kebencian mereka terhadap LGBT sudah menjadikan mereka berlaku tidak adil.

"...Saya muslim, dan saya gay. Saya tidak berharap ada yang mengerti bagaimana saya bisa hidup dalam oxymoron ini. Namun jika ada yang mau tahu bagaimana kisah saya bertransformasi dari self-loathing gay, lalu menjadi muslim garis keras yang ingin memenggal kepala LGBT, hingga saya bisa berdamai dengan seksualitas saya sendiri, silahkan ikuti tulisan-tulisan saya ini. InsyaAllah saya akan terus menulis, karena this is the fight I have chosen.
Tentang saya, mungkin anda mengira akan mendengar kisah yang sama tentang seorang pria gay pada umumnya. Bahwasanya saya waktu kecil mengalami perlakuan buruk di keluarga dan mendapatkan sex abuse dari orang dewasa. Atau bahwasanya saya dari kecil sudah kemayu, suka main boneka dan berteman hanya dengan anak perempuan saja. Lalu karena salah asuhan dan pergaulan ini besarnya saya menyukai sesama jenis.
Let me help you expand your mind: saya waktu kecil bandel dan badung. Saya tidak kemayu. Saya tidak salah asuhan dan tidak mendapat sex-abuse. Saya tidak main sama anak perempuan saja. Saya justru pimpinan geng anak-anak seusia saya yang sekarang besarnya sudah jadi ustad, pedagang, preman, tukang ojek, kuli bangunan dan profesi-profesi macho lainnya.
Besarnya pun saya tidak kemayu. Tampang saya pun seram seperti preman pasar tanah abang. Saya nonton bola, denger musik rock, dan tidak pergi ke gym. Orang-orang banyak bertanya, bagaimana saya bisa jadi gay? Karena saya memilih jadi gay?
Hell no!
Inilah kesalahpahaman yang kemudian berkembang menjadi fitnah, dikoar-koarkan oleh pihak-pihak anti LGBT, yang kemudian memaksa saya menulis catatan-catatan kecil saya ini.
Di negara-negara maju, anggapan bahwasanya menjadi gay itu karena trauma masa kecil, karena pilihan, karena terlular, atau karena salah pilih gaya hidup dan sebagainya sudah lama kadaluwara, sama kadaluwarsanya dengan anggapan bahwa matahari berputar mengelilingi bumi. Orang-orang sudah sangat enggan menjawab diskusi ini, karena tidak worth the effort. Orang yang massih percaya dengan doktrin ini biasanya adalah para bigot yang picik. Mencoba menjelaskan kepada mereka itu sia-sia saja. Seperti hendak mengkonvert pendukung fanatik MU agar mendukung Liverpool. Atau seperti meminta Jonru mengapresiasi hasil kerja Jokowi.
Tapi karena isu ini baru di Indonesia, okelah, saya paham masih banyak yang belum tahu. Jadi inilah bahasan tulisan pertama saya.
Saya tegaskan lagi, tidak ada yang memilih menjadi gay, dan tidak ada yang (andai pun bisa) berniat menularkannya. Saya sudah mendengar ratusan kisah teman-teman LGBT. Tidak satu pun yang bercerita bahwa suatu pagi di hari yang cerah mereka bangun tidur, mandi, sarapan lalu duduk anteng minum kopi. Lalu tiba-tiba saja terbersit ide di kepala, “hmmm … kayaknya jadi gay enak, nih!”
Konyol. Jika boleh memilih, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang mau jadi gay. Di negara-negara maju saja diskriminasi masih kerap sekali terjadi. Apalagi di Indonesia kita tercinta ini, dimana orang-orang yang berbeda dari orang kebanyakan dianggap ancaman bagi kelangsungan peradaban. Karenanya mereka lalu didiskriminasi, dihina, direndahkan derajatnya, dirampas hak-haknya sebagai manusia, dijadikan lelucon dan dilecehkan di setiap kesempatan sosial. Siapa yang memilih hidup seperti itu?
Orang gila mana yang memilih hidup sebagai gay? Keberadaannya dianggap mengintimidasi nilai-nilai agama, cintanya dianggap borok mental, kasih-sayangnya dianggap cacat pergaulan, sehingga mereka harus mengubur jati diri mereka sendiri. Terpaksa hidup sebagai orang lain agar selaras dengan keinginan sosial. Seumur hidup harus berpura-pura. Pura-pura menjadi lelaki yang suka perempuan, pura-pura punya pacar, pura-pura bahagia saat menikah, pura-pura menjalani hidup yang ‘normal’, punya anak, menua, lalu pura-pura menuntaskan cerita hidup yang sempurna, meskipun mereka akhirnya mati sebagai orang lain.
Manusia waras mana yang mau menjadi gay di Indonesia ini? Negeri dimana alim-ulama merasa bertanggungjawab atas iman orang lain, sehingganya mereka merasa berhak mengatur apa yang boleh dan tidak boleh ditonton orang, bagaimana orang harus berpakaian, kemana orang boleh pergi dan siapa-siapa yang boleh mereka cintai. Dan jika ada orang yang tidak setuju, mereka dinobatkan sebagai pembangkang dan musuh agama. Mereka diklaim sebagai agen peradaban barat dan musuh islam.
Siapa yang mau jadi gay di negeri ini? Negeri dimana para ustad anyar mantan preman atau artis yang baru tahu satu dua ayat langsung buru-buru mengeluarkan fatwa halal dan haram. Tanpa ragu mengobarkan api kebencian dan menebar kegelisahan di tengah masyarakat yang tadinya tenteram dan saling menghormati. Tanpa pikirpanjang men-tweet isi kepala mereka, teledor mengantisipasi bahwa kicauan kecil itu akan memutus banyak tali persahabatan, merenggangkan banyak ikatan kekeluargaan bahkan menginspirasi berbagai macam kekerasan.
Wong edan macam apa yang memilih menjadi gay di negeri ini. Negeri dimana para cendekiawan muda berpenampilan rapi dan berwajah santun namun memiliki kepala yang sempit dan hati yang dikobari api kebencian berkumpul dan bergerak seperti MLM yang terus merekrut member. Mereka menelusup ke sekolah-sekolah, kampus-kampus, masjid-masjid dan rumah-rumah untuk menanamkan pemahaman kerdil mereka di kepala anak-anak muda, sehingga orang-orang muda yang tadinya hanif, penuh keceriaan, kasih sayang dan kehangatan ini berubah menjadi hakim-hakim kecil yang menudingkan telunjuk mereka kepada orang-orang di sekeliling mereka, memutuskan siapa benar dan siapa salah.
Orang-orang ini  hidup dan bernafas dengan mengusung ‘mentalitas korban’. Bahwasanya mereka adalah korban — korban konspirasi dunia. Mereka percaya bahwa satu-satunya agenda para penghuni planet bumi ini adalah berkonspirasi menjatuhkan Islam. Bahwa judul besar sandiwara dunia ini adalah “Islam Melawan Dunia”. Oleh karenanya umat islam harus bangkit melawan, bergerak, menelusup dan merebut tampuk-tampuk strategis.
Mereka percaya bahwa semua pahlawan Islam seperti Umar bin Khattab, Khalid bin Walid, Ibnu Taymiyah atau Shalahuddin Al-Ayyuby sudah menitis ke dalam diri Hasan Al-Banna. Dan satu-satunya dakwah yang sempurna adalah dakwah yang dimulai Hasan Al-Banna ini.
Manusia macam apa yang nekad menjadi gay di negeri ini, negeri dimana kelompok-kelompok pengajian berkembang menjadi harokah-harokah picik yang berkepercayaan bahwa syurga hanya milik jamaah mereka saja. Bahwa tidak ada dakwah lain selain jalan pedang. Bahwa jalan keluar bagi kaum LGBT adalah dirajam, dibakar atau dijatuhkan dari tempat yang tinggi. Kelompok-kelompok ini akan melakukan sweeping ke kamar-kamar penduduk, memeriksa apakah orang-orang sudah makan dan minum halal serta berhubungan sex sesuai cara dan kriteria mereka.
Orang sakit jiwa macam apa yang memilih menjadi gay? Gay itu salah di mata (mayoritas) agama popluer. Cintanya adalah dosa. Sepanjang hidup seorang gay harus tersiksa batin. Memendam dalam-dalam rahasia terbesar hidup mereka. Jika pun mereka akhirnya berbesar hati meminta nasehat kepada orang-orang alim, sudah bisa dipastikan kisah nabi Luth atau Sodom dan Gomorah lah yang akan mereka dapat. Orang-orang beragama beranggapan bahwa ayat-ayat ini adalah semacam ayat kursi atau ayat-ayat rukyah yang jika dibacakan akan dapat mengusir jin dan setan yang telah membuat seseorang menjadi gay.
Semudah itu. Jika ada orang yang gay, maka bacakanlah kepada mereka Surah As Syu’araa : 160; An Naml: 54; Al Hijr: 67; Al Furqan: 38; atau Qaf: 12.
Abracadabra!! … si gay akan jadi straight.
Orang-orang ini dengan mudah men-judge kami para LGBT, tanpa mau tahu betapa berat hidup yang telah kami jalani.
Orang-orang seperti saya dan teman-teman LGBT lainnya telah menghabiskan masa pubertas kami dengan penuh ketakutan, takut bahwa kami akan besar menjadi gay. Kami melewatkan masa remaja kami dengan merasa rendah diri karena rupanya kami memang gay. Kami berbeda. Kami salah. Kami tidak berharga.
Orang-orang seperti kami menghabiskan malam-malam kami untuk berdoa kepada Allah agar kami berubah jadi straight. Saat orang-orang hanya sempat membaca do’a sapu jagat sehabis shalat mereka karena kesibukan, kami menyempatkan-nyempatkan membaca do’a personal kami: Ya Allah, jadikanlah saya straight. Doa ini bagi kami lebih penting dari meminta umur panjang dan murah rejeki. Karena buat apa umur panjang dan murah rejeki jika kami menderita batin dan tidak bahagia.
Kami jalani hari demi hari berusaha terlihat ‘normal’, meskipun hati kami hampa karena nkami tidak akan bisa hidup sebagai diri kami sendiri. Masa depan kami suram. Dari semua penjuru kami diserbu dengan gambaran ideal keluarga samara, sinetron-sinetron cinta, novel-novel islami romantis, hingga lagu-lagu yang mengatakan bahwa cinta adalah jawaban segala pertanyaan. Sementara cinta kami? Cinta kami adalah sumber penderitaan hidup kami.
Di negeri ini orang-orang bebas berkumpul dan berorganisasi. Maka dengan mudah kita jumpai berbagai macam kelompok. Dari yang sepele hingga yang serius. Dari kelompok pencinta perangko, pecinta kucing, geng motor, geng BMX, fans club Justin Bieber, hingga kelompok kajian politik. Tapi ketika kami ingin membuat support group bagi teman-teman kami yang mengalami tekanan mental, membantu mereka berhenti membenci diri mereka sendiri, membuat mereka tahu bahwa mereka tidak sendiri, lalu meyakinkan mereka bahwa mereka juga bisa sukses, kami dilarang. Kami dituduh sedang menghimpun kekuatan untuk merubah Indonesia menjadi negara gay. Kami dibilang ingin menularkan seksualitas kami. Bahwa kami ingin mengubah anak-anak, saudara, istri dan suami kalian menjadi LGBT.
Demi Allah, jangankan ingin menularkan, andai saja LGBT adalah semacam wabah penyakit yang dikirim oleh dewa yang murka, dan untuk menyembuhkannya seseorang harus disembelih sebagai tumbal, saya rela menjadi tumbal itu! Sembelih saja leher saya kalau memang dengan itu tidak akan ada lagi gay di dunia ini.
Sungguh, saya tidak tega melihat ada orang yang harus menjalani beratnya hidup sebagai gay. Saya tidak sanggup membayangkan ada orang yang harus melalui beratnya pergulatan mental seperti yang saya alami. Saya nyaris gila, nyaris bunuh diri, sempat membenci diri sendiri dan akhirnya sempat curiga dan benci semua orang. Semua adalah buah pergulatan mental karena saya gay.
Saya dan teman-teman LGBT hanya ingin memberi support kepada teman-teman kami. Paling tidak agar mereka bisa menerima diri mereka sendiri. Lalu apakah nanti mereka memutuskan untuk menikah, mencoba ‘menyembuhkan’ diri mereka dengan mendekatkan kepada agama, itu sama sekali tidak masalah bagi kami. Kami hanya ingin memberikan pendidikan kepada mereka, agar mereka tidak melakukan hal-hal ceroboh atau terjerat ke dalam aktifitas seksual yang beresiko.
Maka dengan ini saya mohon, hentikan menyebarkan fitnah kepada kami. Hentikan mengajak orang membenci kami.
Kami tidak bermaksud menularkan seksualitas kami kepada siapapun andaikan itu mungkin dilakukan. Kami hanya meminta perlindungan atas hak-hak dasar kami. Termasuk hak untuk berorganisasi dengan aman, tanpa dibayang-bayangi hukuman dibakar atau dilempar dari tempat yang tinggi. Kami sudah cukup menderita. Kalau kalian peduli, pelajarilah kami. Bicaralah dengan kami baik-baik. Tanya apa yang sebenarnya kami inginkan. Jangan menyimpulkan sendiri berdasarkan kebencian kalian kepada kami. Kalian sudah berlaku tidak adil.
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al MAidah : 08 ) ..."

Dikutip dari Kompasiana

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tradisi Unik!! Hubungan Badan di Malam Pertama Di jadikan Tontonan

Wanita Ini Membongkar Cara Berjalan Di Atas Air

Rahasia Menaklukan Setan, Jin, Iblis !!